Translate

9.17.2012

Mimpi Muluk

Saya pemimpi.

Sejak masa kanak-kanak saya tak pernah berhenti bermimpi. Tak terbilang banyaknya mimpi-mimpi yang pernah saya petakan di benak hingga seusia ini. Meski begitu saya tak yakin saya adalah pemimpi yang sejati. Pemimpi yang selalu mempercayai setiap mimpinya. Percaya bahwa kelak ia mampu meraihnya. Keyakinanlah yang sebenarnya menjadi inti dari bermimpi. Motor penggerak bagi para pemimpi untuk membuat langkah-langkah kecil sesuai peta impian yang ia buat.

Mimpi, cita-cita atau apapun namanya adalah refleksi tentang hidup kita di masa yang akan datang. Situasi yang ingin kita alami dimasa depan. Menjadikannya nyata jelas memerlukan keyakinan. Yakin dan percaya kita akan sampai di titik itu cepat atau lambat. Berdasarkan pengalaman saya sih, bermimpi yang seperti itu membutuhkan visualisasi yang jelas. Semakin detil semakin baik. Semisal berjalan, semakin lengkap alamat yang akan dituju semakin mudah bagi kita untuk sampai ke tempat tujuan.

Dulu sekali, ada satu masa di saat kanak-kanak saya merasa sangat sedih oleh ejekan teman sebaya. Dibandingkan dengan teman-teman sepermainan, ukuran tubuh saya termasuk petite. Dengan usia yang paling muda saya pun dianggap anak bawang dan tak jarang menjadi bulan-bulanan. Hingga suatu ketika menangislah saya karena ejekan 'kontet' yang dilontarkan oleh salah-satu teman. Saya ingat sekali, saya masih tersedu sambil memegang majalah wanita milik mama. Pada halaman mode, ada wajah cantik dan tubuh semampai Astrid Dharmawan disana. Saya ingin seperti dia. Semampai seperti dirinya. Dari hasil membolak-balik halaman, tahulah saya bahwa ukuran para model saat itu rata-rata 160 cm. Dan dimulailah mimpi saya. Setiap hari saat bercermin saya bayangkan bertubuh tinggi, berdiri di tiang pengukuran dan angka pengukur pas menunjukkan angka 160 cm. Malam hari, saat akan terlelap, saya bawa mimpi saya dalam doa, 'Tuhan beri saya tubuh setinggi 160 cm'. Setiap malam. Setiap saat meyakini dan meminta tanpa lelah. Lalu voila... entah dapat energi dari mana, mulai SMP kelas 3 tubuh saya melesat ke atas. Melampaui tinggi teman-teman yang tadinya lebih dahulu menjadi remaja. Dan di usia 18 tahun, saat pertumbuhan saya tampaknya berhenti, tinggi tubuh saya tepat di angka 160 cm.

Sayangnya dulu saya melupakan kenaikan sekian persen setiap tahunnya. Saat saya bertinggi 160 cm, ukuran standard untuk model adalah minimal 165 cm. Bisa ditebak, saya tak pernah benar-benar mengikuti jejak Astrid Dharmawan....

Rumah yang saya tempati saat ini pun hasil bermimpi. Tinggal di kontrakan sempit di sebuah gang yang padat membuat saya mengimpikan rumah yang lapang dengan jendela-jendela besar yang membebaskan angin dan cahaya memasuki ruangan-ruangannya. Lucunya, meski rekening di bank kosong karena gaji yang pas dengan kebutuhan hidup, saya memiliki target. Sampai berapa lama saya akan tinggal di kontrakan. Sampai 8 bulan menjelang tenggat waktu, tidak ada tanda-tanda yang signifikan yang menandai kemampuan kami memiliki rumah sendiri dengan kriteria yang saya inginkan. Tapi herannya, pede saya selangit. Saya tetap rajin browsing mencari lokasi-lokasi perumahan. Abai dengan harganya yang teramat jauh dari jangkauan kami. Sampai bulan ke enam dari tenggat waktu, setiap kali tetangga nyinyir tentang rencana saya (oh iya saya memang 'ember' dengan mimpi-mimpi saya. Selalu.) jawaban saya tetap sama. Kami akan pindah di Bulan Juni. Padahal sepeser pun kami tak memiliki tabungan... :D

3 bulan dari tenggat waktu, tiba-tiba semua berubah. Sangat tak terduga. Dalam hitungan minggu, saya dapatkan rumah yang saya mau. Lapang dengan jendela-jendela besar. Dan kami pun pindah di Bulan Juni 2008. Pas sesuai tenggat yang saya buat. Sampai detik ini setiap kali mengingatnya, saya masih tersenyum lebar. Itu mimpi 'tergila' yang pernah saya miliki sampai detik ini...

Saya punya banyak mimpi-mimpi kecil yang datang dan pergi begitu saja sesuai sumbu kebosanan saya yang pendek. Sampai beberapa saat lalu, saya teringat salah satu diantaranya. Saya pernah bermimpi menjadi kolomnis. Memiliki kolom sendiri di sebuah majalah internasional yang terkenal. Kolom tempat saya berbagi hal-hal menarik tentang kehidupan. Hal-hal kecil yang bisa menginspirasi banyak orang. Kolom yang menjadi berkat buat orang lain dan diri saya sendiri. Berkat buat saya jelas kepopuleran. Saya mengimpikan wajah saya terpampang di layar iklan besar di jalan-jalan protokol. Dan karenanya saya bisa berperan aktif di acara-acara sastra dan seni yang memang saya minati. Mimpi itu pernah mengendap beberapa lama di benak saya lalu entah mengapa terkubur di sudut memori saya. Kini mimpi itu hadir lagi dan saya menyambutnya kembali dengan sukacita. Sedikit demi sedikit saya memetakannya kembali keping demi keping. Menyusunnya menjadi utuh serupa puzzle. Dan di setiap kepingnya saya salurkan energi, keyakinan dan doa.

Impian saya terlampau muluk?!
Yup! Memang.
Orang bilang, jangan bermimpi terlalu tinggi, jika terjatuh akan teras sangat sakit.
Saya bilang, bermimpilah semuluk mungkin. Bermimpi itu gratis dan tidak ada batasan. Jika yang gratis dan tak berbatas saja kita enggan menciptanya sesempurna mungkin, bagaimana bisa kita mendapatkan semangat untuk menjadikannya nyata?! Keindahannya itu yang menyemangati kita. Soal sakit jika gagal... well, ini hidup guys... dimana serunya kalau hidupmu seneng terus. Sesekali merasakan sakit dan gagal tidak akan mematikan, kok.
Jadilah pemberani, bermimpilah. Semuluk dan sedetil yang kamu bisa. Rasakan semangat yang mengaliri setiap langkah yang kita buat untuk mencapainya. Lalu biarkan Tuhan melalui Semesta bekerja.

Selamat Bermimpi!

-T-


Titik Balik

Pernah nggak berada di suatu keadaan yang benar-benar menghentikan langkah anda. Memaksa anda untuk berpikir, menimbang dengan seksama, jalan mana yang akan ditempuh?! Sebuah titik balik.

Situasi yang sangat berat. Bahkan terkadang datangnya pun tidak kita sangka-sangka. Tiba-tiba kita harus menempuh jalan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tapi kita harus melewatinya tanpa kecuali. Tanpa bekal bahkan juga petunjuk. Kehidupan seumpama menceburkan diri begitu saja ke dalam laut tanpa peduli apakah kita pandai berenang atau tidak.

Titik balik, tidak pernah mudah untuk dihadapi apalagi dijalani. Jalan yang sungguh penuh cobaan dan memerlukan pengorbanan. Butuh keberanian besar untuk bisa melewatinya. Itulah yang sungguh saya butuhkan saat ini. Keberanian. Jujur saja kadang saya meragu. Apakah keberanian atau sebuah kebodohankah yang akan saya lakukan saat ini?!

Ya tentu saja saya harus menimbangnya dengan sangat baik. Ada kehidupan-kehidupan lain yang bergantung pada saya saat ini. Saya harus pastikan saya bahagia dengan apapun jalan yang akan saya tempuh. Pun begitu saya tak boleh egois mementingkan diri sendiri. Sebuah pilihan yang saya pikir tidak bisa dipilih salah-satu. Saya harus menyatukan keduanya, kami harus bahagia bersama. Meski barangkali itu akan mengecewakan beberapa pihak. Namun kita tidak hidup dengan keharusan untuk menyenangkan orang lain. Setiap orang berhak bahagia akan tetapi menyenangkan semua pihak adalah sebuah kemustahilan.

Dan satu hal yang saya percaya, segala hal yang terjadi dalam kehidupan kita adalah seijinNya. Maka semua hal yang menimpa kita apapun bentuknya adalah BAIK. Berkat Tuhan ada didalamnya. Ada kasih Tuhan dalam setiap cara yang Ia pilih untuk membentuk kita. Bahkan jika jalan yang kita pilih 'salah', Ia tidak pernah meninggalkan kita sendiri. Tuhan berdiam dalam diri kita masing-masing. Tinggal kita mengijinkanNya untuk hadir atau tidak.

Bukan... saya bukan pengkhotbah. Saya manusia biasa yang terkadang mampu berdiri tegak kadang tersungkur. Bahkan yang terburuk, seringkali saya omdo. Alias omong doang. Tapi menuliskannya disini adalah pengingat bagi saya. Yang jika saya lemah (mudah-mudahan sih, tidak...) bisa saya baca lagi dan lagi. Karena bagaimanapun jalan yang akan saya tempuh masihlah panjang dan jiwa saya selalu butuh direcharge.

Kelak, saya ingin mengingat ini kembali dengan sebuah senyum dan kebanggaan pada diri sendiri. Bahwa saya mampu melewati titik balik ini dengan berani dan bahagia. :)



-T-

9.14.2012

Rasa Baru


Saya penyuka teh camomile. Hampir dipastikan jenis teh tersebut yang akan saya pesan setiap kali ingin menyesap secangkir teh hangat. Rasanya yang ringan dengan wangi camomile yang lembut dan samar, sangat menenangkan. Tapi hari ini tiba-tiba mata saya terpaku dengan label hijau bertuliskan Peppermint Tea. Yang terbayang di benak saya seketika adalah rasa yang pedas. Teh kok pedas..., begitu batin saya berujar. Akan tetapi, "Peppermint tea-nya ya mbak," ucapan saya meluncur begitu saja. Entah kenapa.

Beberapa hari ini saya terus-menerus membuat percakapan pada diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan? Apa yang saya inginkan untuk hidup saya? Apa yang saya sukai dan tidak saya sukai? Chat via bbm dengan beberapa teman membantu proses penggalian diri ini. Hasilnya tidak terlalu mencengangkan. Saya terbiasa melakukan segala sesuatu dengan pola yang pasti. Kopi dan teh yang saya pesan selalu sama. Tempat yang saya pilih setiap ingin bertemu seseorang pun sama. Pendek kata, saya membosankan.

Saya butuh sesuatu yang baru. Dan saya yakin sekali kebanyakan dari kita tanpa disadari juga terjerat oleh rutinitas yang sama. Perubahan sedikit saja akan membuat kita gelisah. Kita terjebak. Terjebak pada zona nyaman yang kita ciptakan sendiri lalu pelan-pelan menjerat diri tanpa kita sadari. Saya katakan menjerat. Karena pada akhirnya kebiasaan yang nyaman itu akan menciptakan kegelisahan, keengganan bahkan ketakutan kita akan hal-hal baru diluar kebiasaan. Lalu jiwa kita menjadi mandeg. Rasa menjadi tumpul karena kita tidak lagi 'menantangnya' bereksplorasi. Dan lambat-laun kemampatan jiwa dan rasa itu menumpuk sedikit demi sedikit mencapai titik jenuh, kemudian berontak.

Pemberontakan yang bisa jadi sangat revolusioner atau malah keluar sedikit demi sedikit mencari sesuatu yang baru dan menyegarkan. Saya?! Oh, well.... saya seorang Libra. Saya mengalami keduanya... hem, dalam takaran yang seimbang menurut saya. Tidak sampai membuat jantungan orang-orang disekitar, namun cukup mampu membuat kening mereka berkerut. Terkadang malah saya sendiri yang terkaget-kaget. Tapi saya mencoba menikmati setiap rasa. Gelisahnya, sebel, lucu, aneh, senang... semua!

Mencoba hal baru lalu nikmati rasanya. Tak perlu dengan hal besar yang bikin syok sekitar semacam resign pekerjaan, misalnya. Mulailah saja dengan hal-hal kecil di awal hari. Seperti memesan secangkir teh hangat dengan rasa yang berbeda.

Selamat merasa!

-T-